Sejak lima atau empat era silam, bangsa Asia seperti Cina, India, Persia serta Eropa sudah lakukan perdagangan dengan masyarakat pribumi di semua pelosok Nusantara. Bangsa ini cukup di kenal, karena subur dan kaya sumber daya alam. Terlebih hasil bumi serta pertaniannya, seperti kopra, cendana, gaharu serta rempah-rempahan. Dahulunya Nusantara ini dimaksud negeri, “gemah ripah loh jenawi”. Bahkan juga dalam dendang th. 60-an dimaksud “negeri kolam susu”. Kelihatannya telah ditakdirkan negeri ini yaitu sepotong sorga yang di turunkan Tuhan dari langit.
Banyak cerita serta sebutan-sebutan mengenai negeri ini yang indah serta elok. Tetapi sebutan ini tidak selamanya seindah namanya, jadi malah kerapkali membawa masalah serta malapetaka besar untuk kehidupan rakyatnya. Nyaris selama hidup, rakyatnya hidup miskin. Tiga 1/2 era lamanya dijajah Belanda serta terakhir petaninya terjajah juga oleh bangsanya sendiri. Apa pun sebutan serta kisahnya, lantaran dikarenakan kebodohan, “kufur nikmat”, sudah “menina-bobokkan” bangsa ini kurun waktu yang lama. Bangsa ini tertidur nyenyak dihamparan “permadani hijau” bertabur jamrud, mutu-manikam, terhipnotis hembusan angin sorga yang selalu meniupi katulistiwa serta tenggelam jauh dalam dendang “rayuan pulau kelapa”.
Ironisnya semuanya hanya mimpi semata. Kenyataannya nasib serta kehidupan beberapa petani dinegeri ini tidak seindah mimpi yang datang disetiap tidur mereka. Sebab kenyataannya, saat mereka terbangun serta hadapi fakta hidup mereka yang sesungguhnya, malah kehidupan mereka begitu memprihatinkan serta menggenaskan. Sungguh memuakkan terlahir sebagai petani, lantaran statusnya begitu dilihat rendahan serta mata sebelah.
Jadi petani bermakna siap untuk menanggung derita. Bahkan juga dalam keadaan yang begitu tertekan meskipun, mereka petani masihlah dihadapkan dengan harga pupuk yang mahal, tidak berhasil panen dampak iklim yang tidak kompromis akibat pemanasan global, bencana alam yang lain, ancaman hama, ditambah segudang regulasi serta kebijakan pemerintah yg tidak pernah memihak pada beberapa petani.
Banyak sawah dipelosok-pelosok negeri dilewatkan terlantar oleh yang empunya, lantaran biaya produksi bertani padi lebih tinggi dari hasil penjualan pasca panen. Harga beras yang murah bikin petani 1/2 hati untuk mengerjakan sawah-sawah mereka. Jikalau sawah ditangani, bukanlah bermakna mereka akan mencari untung, namun hanya sebatas isi hari-hari serta coba menyingkirkan kegundahan yang menyelimuti mereka. Kebijakan negara mengimpor beras untuk menghimpit harga gabah petani sungguh memukul mental serta kemampuan beberapa petani.
Negara ini lebih sukai mensubsidi negara asal pengimpor, daripada mensubsidi petani sendiri. Pada hal pembelian beras ke Thailand serta Vietnam dengan harga yang mahal dikerjakan dengan mekanisme impor memiliki loabel subsidi. Ironisnya impor itu semua menggunakan duit negara dengan berkedok subsidi untuk rakyat, JPS, raskin, operasi pasar serta pasar murah. Praktik subsidi serta regulasi pada impor beras dikerjakan dengan argumen supaya harga beras murah serta terjangkau oleh rakyat.
Dipertunjukkanlah seakan-akan negara perduli dengan nasib rakyat miskin, dengan selekasnya penuhi keperluan pangan mereka. Kebohongan juga selalu berlanjut. Dilegitimasi dengan daya beli rakyat yang rendah, jadi karenanya negara bealasan turun tangan berikan subsidi. Namun sesungguhnya di balik semuanya, kebijakan impor memiliki loabel subsidi sudah menyebabkan kerugian yang begitu besar, lantaran automatis mematikan jiwa serta semangat bertani beberapa petani – sebagai penghuni sebagian besar negeri ini. Bahkan juga selain itu telah jadi rahasia umum kalau praktik impor beras begitu sarat muatan korupsi.
Kenyataannya hingga hari ini, banyak masalah korupsi hebat yang tersingkap di Bulog ataupun di beberapa instansi yang lain yang berkaitan dengan pemenuhan keperluan pokok pangan rakyat. Pada hal sesungguhnya, apabila harga beras serta product pertanian yang lain katakanlah untungkan, jadi rakyat Indonesia sesungguhnya dapat lebih sejahtera, lantaran dapat mengekspor product pertaniannya dengan harga yang berkompetisi.
Sebab dengan harga yang baik, asumsinya petani kembali bergairah mengelola tempat mereka sendiri. Bahkan juga apabila semuanya pabrikan di Kerawang serta Banten kembali berpindah manfaat seperti awal mulanya, jadi lokasi ini dapat kembali jadi lumbung pangan nasional serta kembali berswasembada pangan.
Dengan argumen sekian, pantas dipertanyakan, kok dapat dinegeri ini “petani kelaparan dilumbung padi”? Anehnya lagi, negara yang di kenal agraris, tanahnya subur, malah kerja pemerintahnya cuma mengimpor beras, jagung, gula serta kacang kedele. Mana saat semua itu dapat ditanam di Indonesia. Tidakkah semestinya sebagai negara agraris, Indonesia pantas berkelanjutan mengekspor product pertanian saja, lantaran Indonesia memiliki kelebihan alamiah (comparative adventage) tidak terbandingkan dibelahan dunia manapun.
Lagi juga, pekerjaan menteri perdagangan Indonesia, semestinya mengoptimalkan ekspor product pertanian tropis, lantaran dengan cara komparatif Indonesia unggul di bagian ini. Industri tertiar, seperti elektronik serta kendaraan bermotor sebagai andalan industri bangsa lain, nyatanya tak pas diaplikasikan di Indonesia, lantaran nyatanya sedikit juga tak dapat mengubah penambahan tarap hidup rakyat Indonesia. Beberapa barang tertier cukup diimpor, sebab sepanjang inipun kehidupan industri Indonesia, hanya industri “tukang jahit”.
Apabila diamati dengan cara ekonomis, usaha investor bangun pabrik di Indonesia, hanya lantaran gaji buruh yang murah serta kebutuhan strategis mereka, supaya lebih dekat dengan pangsa pasarnya.
Korupsi di Lumbung Pangan
Sungguh malang nasip petani di negeri ini. Sudahlah dirugikan, lantaran keluarkan biaya produksi yang mahal, mereka juga tak dapat jual hasil pertaniannya sedikit di atas biaya produksi. Bahkan juga ironisnya, berbagai subsidi yang didapatkan negara, malah di nikmati oleh negara asal pengimpor yang pastinya banyak mengambil untung. Belum lagi praktik koruptif yang dikerjakan oleh aparatus Bulog berbarengan rekananannya, saat beli beras ataupun sewaktu mendistribusikan beras impor kepasaran dalam negeri.
Bulog mungkin beli beras ke negara tetangga (terdaftar dikuitansi) seharga Rp. 5. 000, - perkilogram dengan menggunakan dana APBN, meskipun kenyataannya yang dibayarkan pada importir cuma Rp. 4. 500, - perkilogram. Korupsinya sekitaran Rp. 500, - perkilogram. Lantas beras impor itu lalu didistribusikan ke relasi dengan harga yang telah disubsidi oleh negara, katakanlah di jual Rp. 3. 000, - perkilogram, jadi Bulog sekali lagi terima komisi haram Rp. 200, - perkilogram dengan cara diam-diam dari distributor serta relasi.
Kelak sewaktu dilempar dipasaran, harga beras impor itupun di jual dengan harga berpluktuasi sekitaran Rp. 3. 500, - perkilogram. Berdalih praktik stabilisasi harga ala Bulog di atas, jadi automatis mengakibatkan harga gabah petani dipasaran jadi anjlok. Pada hal agar untung, semestinya beras petani terjual Rp. 5. 000, - perkilogram, seperti juga Bulog beli beras impor kenegara tetangga. Bakal namun, lantaran praktik impor beras ini jugalah, jadi mengakibatkan harga beras petani sangat terpaksa sesuaikan dengan harga pasar jadi sekitaran Rp. 3.. 500, - perkilogram.
Dari perkiraan di atas, bisa dihitung korupsi yang dikerjakan oleh koruptor dilumbung pangan. Asumsinya yaitu apabila satu tahun Bulog mengimpor 200. 000 ton beras, jadi duit rakyat yang dikorupsinya yaitu sekitaran 140. 000. 000. 000, - pertahun atau sebelas milyar perbulan. Tidakkah itu satu angka yang begitu fantastis?
Memanglah aneh, di negeri yang selalu nestapa, lantaran korupsi serta dililit utang. Buruh serta abdi negara, seperti PNS, TNI/POLRI digaji murah, sampai mereka juga tidak dapat beli beras dengan harga yang untungkan petani. Cuma untuk membuat perlindungan 20% buruh murah serta abdi negara, jadi berdalih subsidi untuk rakyat, pemerintah mengorbankan nasib, harapan serta bahkan juga segala-galanya kehidupan orang-orang tani yang sebagian besar 80% penghuni tetaplah negara ini. Bahkan juga apabila diamati selanjutnya, jadi duit subsidi serta pembelian beras impor yang sudah di keluarkan negara itu juga datang dari pungutan duit rakyat.
Telah sepatutnya dikelola dengan cara adil serta rata, dengan memprioritaskan azas kebutuhan serta kemaslahatan orang banyak. Dengan hal tersebut, takkan ada petani yang mati dilumbung padi. Takkan ada tikus yang kuasai lumbung padi, yang bisanya (toksinnya) senantiasa mematikan kehidupan petani.
Harapan kita kedepan, sebaiknya pertanian jadi andalan paling utama serta konsentrasi tetaplah pemerintah. Buanglah mimpi jadi negara industri pabrikan, terkecuali usaha menekan yang sesegeranya dikerjakan pemerintah untuk meregulasi lagi kebijakan bidang pertanian serta memodernisasi industri pertanian.
Lantaran pertanian yaitu telah adalah karunia besar serta takdir Tuhan untuk kemakmuran negara ini. Jangan pernah bangsa ini berkali-kali terpuruk serta jatuh kelobang yang sama. Sampai kini petani serta buruh negeri ini cuma digunakan oleh kebutuhan kapitalisme global, lantaran pasarnya yang empuk, murah didikte asing serta populer dengan gaji buruh yang murah.
Mengakibatkan, dengan gaji serta upah yang kecil, jadi implikasinya yaitu ketakmampuan buruh, pegawai negeri, termasuk juga buruh tani untuk beli beras dengan harga yang ideal. Dengan hal tersebut diinginkan kedepan, harga beras kita dapat berkompetisi serta dapat memberi keuntungan untuk petani pangan, lantaran dengan harga product pertanian yang baik, keuntungan dapat dicapai oleh beberapa petani. Konkritnya, regulasi serta kebijakan pertanian sebaiknya dapat memberi nilai lebih serta keuntungan yang cukup untuk beberapa petani, pastinya di luar biaya produksi yang sudah mereka mengeluarkan.
Semoga dengan bertahap, kita dapat kembali menguber ketertinggalan dengan Malaysia, Thailand serta Vietnam yang petaninya lebih sejahtera, sebab mereka dari dahulu berkelanjutan sebagai negara agraris.. Mereka malah tak perlu menguber tujuan jadi negara industri pabrikan. Cukup saja jadi negara agraris serta tetaplah konsentrasi memodernisasi industri pertaniannya yang segera menyokong kehidupan petani-petani mereka.
Tersebut sekelumit cerita nestapa petani dinegeri ini. Selama hidup kehidupan mereka dikeroyok dari beragam segi sampai babak-belur, hingga mereka juga sulit untuk bangkit kembali. Akan tetapi, petani-petani pejuang itu tetap harus mengimpikan datangnya sang “ratu adil” serta mengharapkan disuatu waktu kelak, nasib mereka dapat jadi tambah baik. Meskipun kenyataannya hari ini keberpihakan negara yang ditunggu itu tidak kunjung datang.
sumber: http://www.korantani.net/2016/10/petani-walau-hidup-sederhana-lebih.html
Banyak cerita serta sebutan-sebutan mengenai negeri ini yang indah serta elok. Tetapi sebutan ini tidak selamanya seindah namanya, jadi malah kerapkali membawa masalah serta malapetaka besar untuk kehidupan rakyatnya. Nyaris selama hidup, rakyatnya hidup miskin. Tiga 1/2 era lamanya dijajah Belanda serta terakhir petaninya terjajah juga oleh bangsanya sendiri. Apa pun sebutan serta kisahnya, lantaran dikarenakan kebodohan, “kufur nikmat”, sudah “menina-bobokkan” bangsa ini kurun waktu yang lama. Bangsa ini tertidur nyenyak dihamparan “permadani hijau” bertabur jamrud, mutu-manikam, terhipnotis hembusan angin sorga yang selalu meniupi katulistiwa serta tenggelam jauh dalam dendang “rayuan pulau kelapa”.
Ironisnya semuanya hanya mimpi semata. Kenyataannya nasib serta kehidupan beberapa petani dinegeri ini tidak seindah mimpi yang datang disetiap tidur mereka. Sebab kenyataannya, saat mereka terbangun serta hadapi fakta hidup mereka yang sesungguhnya, malah kehidupan mereka begitu memprihatinkan serta menggenaskan. Sungguh memuakkan terlahir sebagai petani, lantaran statusnya begitu dilihat rendahan serta mata sebelah.
Jadi petani bermakna siap untuk menanggung derita. Bahkan juga dalam keadaan yang begitu tertekan meskipun, mereka petani masihlah dihadapkan dengan harga pupuk yang mahal, tidak berhasil panen dampak iklim yang tidak kompromis akibat pemanasan global, bencana alam yang lain, ancaman hama, ditambah segudang regulasi serta kebijakan pemerintah yg tidak pernah memihak pada beberapa petani.
Banyak sawah dipelosok-pelosok negeri dilewatkan terlantar oleh yang empunya, lantaran biaya produksi bertani padi lebih tinggi dari hasil penjualan pasca panen. Harga beras yang murah bikin petani 1/2 hati untuk mengerjakan sawah-sawah mereka. Jikalau sawah ditangani, bukanlah bermakna mereka akan mencari untung, namun hanya sebatas isi hari-hari serta coba menyingkirkan kegundahan yang menyelimuti mereka. Kebijakan negara mengimpor beras untuk menghimpit harga gabah petani sungguh memukul mental serta kemampuan beberapa petani.
Negara ini lebih sukai mensubsidi negara asal pengimpor, daripada mensubsidi petani sendiri. Pada hal pembelian beras ke Thailand serta Vietnam dengan harga yang mahal dikerjakan dengan mekanisme impor memiliki loabel subsidi. Ironisnya impor itu semua menggunakan duit negara dengan berkedok subsidi untuk rakyat, JPS, raskin, operasi pasar serta pasar murah. Praktik subsidi serta regulasi pada impor beras dikerjakan dengan argumen supaya harga beras murah serta terjangkau oleh rakyat.
Dipertunjukkanlah seakan-akan negara perduli dengan nasib rakyat miskin, dengan selekasnya penuhi keperluan pangan mereka. Kebohongan juga selalu berlanjut. Dilegitimasi dengan daya beli rakyat yang rendah, jadi karenanya negara bealasan turun tangan berikan subsidi. Namun sesungguhnya di balik semuanya, kebijakan impor memiliki loabel subsidi sudah menyebabkan kerugian yang begitu besar, lantaran automatis mematikan jiwa serta semangat bertani beberapa petani – sebagai penghuni sebagian besar negeri ini. Bahkan juga selain itu telah jadi rahasia umum kalau praktik impor beras begitu sarat muatan korupsi.
Kenyataannya hingga hari ini, banyak masalah korupsi hebat yang tersingkap di Bulog ataupun di beberapa instansi yang lain yang berkaitan dengan pemenuhan keperluan pokok pangan rakyat. Pada hal sesungguhnya, apabila harga beras serta product pertanian yang lain katakanlah untungkan, jadi rakyat Indonesia sesungguhnya dapat lebih sejahtera, lantaran dapat mengekspor product pertaniannya dengan harga yang berkompetisi.
Sebab dengan harga yang baik, asumsinya petani kembali bergairah mengelola tempat mereka sendiri. Bahkan juga apabila semuanya pabrikan di Kerawang serta Banten kembali berpindah manfaat seperti awal mulanya, jadi lokasi ini dapat kembali jadi lumbung pangan nasional serta kembali berswasembada pangan.
Dengan argumen sekian, pantas dipertanyakan, kok dapat dinegeri ini “petani kelaparan dilumbung padi”? Anehnya lagi, negara yang di kenal agraris, tanahnya subur, malah kerja pemerintahnya cuma mengimpor beras, jagung, gula serta kacang kedele. Mana saat semua itu dapat ditanam di Indonesia. Tidakkah semestinya sebagai negara agraris, Indonesia pantas berkelanjutan mengekspor product pertanian saja, lantaran Indonesia memiliki kelebihan alamiah (comparative adventage) tidak terbandingkan dibelahan dunia manapun.
Lagi juga, pekerjaan menteri perdagangan Indonesia, semestinya mengoptimalkan ekspor product pertanian tropis, lantaran dengan cara komparatif Indonesia unggul di bagian ini. Industri tertiar, seperti elektronik serta kendaraan bermotor sebagai andalan industri bangsa lain, nyatanya tak pas diaplikasikan di Indonesia, lantaran nyatanya sedikit juga tak dapat mengubah penambahan tarap hidup rakyat Indonesia. Beberapa barang tertier cukup diimpor, sebab sepanjang inipun kehidupan industri Indonesia, hanya industri “tukang jahit”.
Apabila diamati dengan cara ekonomis, usaha investor bangun pabrik di Indonesia, hanya lantaran gaji buruh yang murah serta kebutuhan strategis mereka, supaya lebih dekat dengan pangsa pasarnya.
Korupsi di Lumbung Pangan
Sungguh malang nasip petani di negeri ini. Sudahlah dirugikan, lantaran keluarkan biaya produksi yang mahal, mereka juga tak dapat jual hasil pertaniannya sedikit di atas biaya produksi. Bahkan juga ironisnya, berbagai subsidi yang didapatkan negara, malah di nikmati oleh negara asal pengimpor yang pastinya banyak mengambil untung. Belum lagi praktik koruptif yang dikerjakan oleh aparatus Bulog berbarengan rekananannya, saat beli beras ataupun sewaktu mendistribusikan beras impor kepasaran dalam negeri.
Bulog mungkin beli beras ke negara tetangga (terdaftar dikuitansi) seharga Rp. 5. 000, - perkilogram dengan menggunakan dana APBN, meskipun kenyataannya yang dibayarkan pada importir cuma Rp. 4. 500, - perkilogram. Korupsinya sekitaran Rp. 500, - perkilogram. Lantas beras impor itu lalu didistribusikan ke relasi dengan harga yang telah disubsidi oleh negara, katakanlah di jual Rp. 3. 000, - perkilogram, jadi Bulog sekali lagi terima komisi haram Rp. 200, - perkilogram dengan cara diam-diam dari distributor serta relasi.
Kelak sewaktu dilempar dipasaran, harga beras impor itupun di jual dengan harga berpluktuasi sekitaran Rp. 3. 500, - perkilogram. Berdalih praktik stabilisasi harga ala Bulog di atas, jadi automatis mengakibatkan harga gabah petani dipasaran jadi anjlok. Pada hal agar untung, semestinya beras petani terjual Rp. 5. 000, - perkilogram, seperti juga Bulog beli beras impor kenegara tetangga. Bakal namun, lantaran praktik impor beras ini jugalah, jadi mengakibatkan harga beras petani sangat terpaksa sesuaikan dengan harga pasar jadi sekitaran Rp. 3.. 500, - perkilogram.
Dari perkiraan di atas, bisa dihitung korupsi yang dikerjakan oleh koruptor dilumbung pangan. Asumsinya yaitu apabila satu tahun Bulog mengimpor 200. 000 ton beras, jadi duit rakyat yang dikorupsinya yaitu sekitaran 140. 000. 000. 000, - pertahun atau sebelas milyar perbulan. Tidakkah itu satu angka yang begitu fantastis?
Memanglah aneh, di negeri yang selalu nestapa, lantaran korupsi serta dililit utang. Buruh serta abdi negara, seperti PNS, TNI/POLRI digaji murah, sampai mereka juga tidak dapat beli beras dengan harga yang untungkan petani. Cuma untuk membuat perlindungan 20% buruh murah serta abdi negara, jadi berdalih subsidi untuk rakyat, pemerintah mengorbankan nasib, harapan serta bahkan juga segala-galanya kehidupan orang-orang tani yang sebagian besar 80% penghuni tetaplah negara ini. Bahkan juga apabila diamati selanjutnya, jadi duit subsidi serta pembelian beras impor yang sudah di keluarkan negara itu juga datang dari pungutan duit rakyat.
Telah sepatutnya dikelola dengan cara adil serta rata, dengan memprioritaskan azas kebutuhan serta kemaslahatan orang banyak. Dengan hal tersebut, takkan ada petani yang mati dilumbung padi. Takkan ada tikus yang kuasai lumbung padi, yang bisanya (toksinnya) senantiasa mematikan kehidupan petani.
Harapan kita kedepan, sebaiknya pertanian jadi andalan paling utama serta konsentrasi tetaplah pemerintah. Buanglah mimpi jadi negara industri pabrikan, terkecuali usaha menekan yang sesegeranya dikerjakan pemerintah untuk meregulasi lagi kebijakan bidang pertanian serta memodernisasi industri pertanian.
Lantaran pertanian yaitu telah adalah karunia besar serta takdir Tuhan untuk kemakmuran negara ini. Jangan pernah bangsa ini berkali-kali terpuruk serta jatuh kelobang yang sama. Sampai kini petani serta buruh negeri ini cuma digunakan oleh kebutuhan kapitalisme global, lantaran pasarnya yang empuk, murah didikte asing serta populer dengan gaji buruh yang murah.
Mengakibatkan, dengan gaji serta upah yang kecil, jadi implikasinya yaitu ketakmampuan buruh, pegawai negeri, termasuk juga buruh tani untuk beli beras dengan harga yang ideal. Dengan hal tersebut diinginkan kedepan, harga beras kita dapat berkompetisi serta dapat memberi keuntungan untuk petani pangan, lantaran dengan harga product pertanian yang baik, keuntungan dapat dicapai oleh beberapa petani. Konkritnya, regulasi serta kebijakan pertanian sebaiknya dapat memberi nilai lebih serta keuntungan yang cukup untuk beberapa petani, pastinya di luar biaya produksi yang sudah mereka mengeluarkan.
Semoga dengan bertahap, kita dapat kembali menguber ketertinggalan dengan Malaysia, Thailand serta Vietnam yang petaninya lebih sejahtera, sebab mereka dari dahulu berkelanjutan sebagai negara agraris.. Mereka malah tak perlu menguber tujuan jadi negara industri pabrikan. Cukup saja jadi negara agraris serta tetaplah konsentrasi memodernisasi industri pertaniannya yang segera menyokong kehidupan petani-petani mereka.
Tersebut sekelumit cerita nestapa petani dinegeri ini. Selama hidup kehidupan mereka dikeroyok dari beragam segi sampai babak-belur, hingga mereka juga sulit untuk bangkit kembali. Akan tetapi, petani-petani pejuang itu tetap harus mengimpikan datangnya sang “ratu adil” serta mengharapkan disuatu waktu kelak, nasib mereka dapat jadi tambah baik. Meskipun kenyataannya hari ini keberpihakan negara yang ditunggu itu tidak kunjung datang.
sumber: http://www.korantani.net/2016/10/petani-walau-hidup-sederhana-lebih.html
0 Komentar untuk "Petani Walau Hidup Sederhana Lebih Mulia Dibanding Koruptor yang Hidup Mewah (Share Jika Setuju) "